![]() |
| Foto : Istimewa |
Dumai, SelayangNews.com - Belakangan ini, pesantren semakin sering menjadi sorotan publik. Salah satu stasiun televisi nasional, misalnya, menayangkan berita yang menggambarkan figur kyai sebagai sosok kaya raya yang menerima amplop. Bagi sebagian orang, berita seperti ini mungkin sekadar informasi biasa. Tapi bagi banyak pesantren, ini bukan sekadar headline—ini tentang harkat dan martabat.
Dalam kacamata kritis, pemberitaan semacam itu menunjukkan bagaimana media kerap melenceng dari perannya sebagai penyaji fakta. Alih-alih menarasikan kebenaran dengan jernih, ia malah berubah menjadi corong opini yang menggiring persepsi publik secara sepihak.
Menurut ismartono yang menjabat sebagai sekretaris cabang GP Ansor kota Dumai sekaligus alumni Hm al-mahrusyiah lirboyo bahwa media bukan hanya menyampaikan kabar, tetapi juga membentuk cara kita memahami dunia. Jika logika ini diterapkan pada kasus Pesantren, kita sedang berhadapan bukan sekadar dengan berita, melainkan dengan konstruksi wacana yang punya daya rusak sosial.
Pesantren lahir dan tumbuh dari rahim masyarakat. Ia dibangun dari gotong royong dan sebagian besar tidak memiliki akses memadai terhadap sumber daya–tentu saja kapital besar.
Di tengah keterbatasan tersebut, para kyai justru membuka pintu seluas-luasnya bagi santri dari keluarga mustadh’afin, kalangan yang sering luput dari radar pembangunan formal. Di pesantren salaf—pesantren klasik yang masih teguh dengan sistem pengajian kitab kuning—biaya pendidikan sering kali sangat minim, bahkan tidak jarang tanpa pungutan sama sekali. Uang syahriyah (biaya bulanan) yang dikelola para pengurus pesantren dari santri hanya cukup untuk membayarkan listrik, air, makan santri, dan sedikit pemeliharaan bangunan.
Tak lebih. Seperti dikatakan Abdurrahman Wahid (Gusdur), Pesantren hidup sebagai subkultur: berdiri di atas solidaritas sosial masyarakat bawah dan semangat saling menopang.
Karena itulah, tak sedikit kyai yang akhirnya harus “nombok” — menutup kekurangan biaya dari kantong pribadi. Sebagian mengelola sawah, membuka usaha kecil, atau bertani, memastikan agar pengelolaan Pesantren berjalan demi menutupi biaya operasional Pesantren.
Berangkat dari situlah Ansor Banser Kota Dumai siap melaksanakan dan satu komando untuk menjaga Marwah Kyai dan pesantren.
Oleh : ismartono Sekretaris GP Ansor dumai
Editor : Redaksi
